Jejak Raja Bone Di Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang

Deskripsi : Stamboom der onderkoningen van Riouw adalah susunan silsilah raja Yang Dipertuan Muda Riau yang merupakan keturunan dari Raja Bone (Koning van Boni) sesuai Naskah Belanda yang ditulis pada bulan januari 1955 oleh T.J. Willer, Residen Belanda yang dimuat dalam buku Bleeker et.al (1855) dalam Tidschrift voor Indische Tall Land en Volkenkunde pada halaman 411 . Stambuk ini menjelaskan asal usul tokoh bugis yang dikenal dengan nama Opu Lima.

Kerajaan Lingga merupakan sebuah kerajaan Melayu yang berpusat di Kota Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga, berdiri sejak 1150 yang pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Melaka, mulai dari Kerajaan Bintan (1150-1158), Kerajaan Bintan-Temasik (yang berpusat di Singapura) (1159-1384), Kerajaan Melaka(1384-1511), berlanjut lagi ke Bintan, lalu ke Kampar dan di Johor (1511—1678). hingga Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai Sultan Melaka yang terakhir yang telah membangun Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak 1761 sampai 1812, yang bermula di Hulu Riau, Sungai Carang, Pulau Bintan (1761—1787) dan kemudian selama 25 tahun berlanjut di Lingga dan Pulau Penyengat (1787—1812). Kemudian terbagi dua bagian berdasarkan Traktat London(1824) pada masa Sultan Abdurrahman (1812-1832) yaitu Bagian utara menjadi Kesultanan Melayu Johor-Singapura. Dan Bagian Selatan yang menjadi wilayah Kesultanan Melayu Lingga-Riau. Pada masa Sultan Abdurrahman MuazamSyah (1883-1913), Kesultanan lingga ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda dengan memakzulkan Sultan secarain absentia 3 Februari 1911. Dalam sejarah kebudayaan Melayu, Kerajaan Lingga Riau ini berperan penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Tokoh besar di balik perkembangan tersebut adalah adalah Raja Ali Haji, seorang budayawan dan pahlawan nasional keturunan Bugis yang melahirkan karya-karya besar seperti seperti Gurindam Dua Belas, Bustan al-Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa,Tsamarat al-Muhimmah, Muqaddimah fi Intizam al-Wazaif al-Muluk, Syair Abdul Muluk, Tuhfat al-Nafis, Silsilah MelayuBugis, Sinar Gemala Mestika Alam, dan lain-lain. Sultan Riau Lingga terakhir, Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913) yang masih keturunan Bugis Melayu. Menurut Syahri (2012) ada tiga buah salinan naskah yang telahdiidentifikasi sebagai naskah Silsilah Melayu dan Bugis. Pertama, naskah yang berasal dari abad ke-19 yang tersimpan pada Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan nomor inventaris Cod. Or. 6345. Naskah ini disalin.
Malaysia, pada tahun 2013. Terakhir, Naskah ketiga, dikenaldengan nama “Sejarah Bugis” yang tersimpan di Perpustakaan Muzium Negara Malaysia di Kuala Lumpur, dengannomor inventaris MS 209. Naskah ini adalah koleksi yang diambil dari Museum Negeri Perak pada tahun 1962.Selain itu ada juga naskah yang berjudul “Sejarah Raja-Raja Melayu dan Bugis” koleksi Pusat Dokumentasi Malay Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur dengan nomor inventaris MS 87 yang merupakan salinan naskah Tuhfat al-Nafis. Naskah inilah yang paling banyak dirujuk sebagai sumber sejarah diaspora Bugis Makassar terkait kiprah limaorang bugis bersaudara di semenanjung yang berasal dari Kerajaan Luwu dimana Lamadusasalat (baca: LaMaddusila) adalah Raja Luwu yang pertama memeluk Islam dan memiliki tiga orang putra termasuk Opu Tenriborong Daeng Rilekke’ yang kemudian membawa merantau kelima putranya yang bernama Upu Daing Perani ,Upu DaingMenambon, Upu Daing Marewah, Upu Daing Chelak dan Upu Daing Kumasi (baca, Opu Daeng Kamase). Inilah kemudian yang terkenal sekarang sebagai Opu Lima. Prof. Zainal Abidin Farid (1999) dalam bukunya Capita Selecta:Sejarah Sulawesi Selatan, silsilah yang terdapat di dalam Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis sama sekalitidak sesuai dengan isi Lontarag NB No. 208 yang ada di Leidse Rijksuniversiteits Bibliotheek di Nederland, dansemua Lontaraq yang ada di daerah Bugis, karena tidak ada nama Raja Luwu yang bernama Maddusila, tapi adanama yang sama sebagai anak dari Raja Luwu We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng yang diperkirakan hidupsekitar tahun 1778 dan sampai awal abad ke-19. Dalam buku edisi terakhir 2017 dengan judul yang sama, Prof. Zainal.

Menduga sebagai kesimpulan bahwa jikalau Opu Tenriborong Daeng Rilekke’ memang bersaudara We Ummung Datu Larompong, permaisuri Raja Bone maka Opu tersebut adalah anak Datu Luwu’ Settiaraja Sultan Alinmuddin, Matinroeri Tompotika, tetapi hal ini memerlukan penelitian silsilah lebih lanjut. Malah menurutnya, uraian Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis tentang kunjungan Opu Tenriborong Daeng Rilekke’ di Bone untuk menemui saudara atau sanak keluarga nya (Salasilah Melayu dan Bugis) dapat membuka tabir atas asal usul para Lima Opu tersebut karena Raja Bone ke-16, La Patau Matanna Tikka (1696-1714) adalah sezaman dengan Opu‘Tenriborong Daeng Rulekke’ pada akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Sahdan, Opu Tenriborong dan kelima putranya ke Bone untuk minta doa-restu Raja Bone, karena mereka akan ‘berangkat “pergi mengembara mengadu tuah ke sebelah Barat, mudah-mudahan dengan pertolongan Rabbulalamin supaya dapat menjadi masyhur nama raja-raja Bugis di tempat itu, lalu kemudian Raja Bone (La Patau’) membekalinya keris pusaka yang bernama Tanjung Lada, (Salasilah Melayu dan Bugis, op.cit:18). Jejak Raja Bone juga ditemukan dalam Disertasi Andaya (1971) dan Koh (2007) yang menceritakan bantuan pasukan oleh Raja Bone ke-19 La Pareppa Tosappewali (1718-1721) dan Ratu Bone ke-21 We Batari Toja (1724-1749) kepada Daeng Marewa dalam berbagai perang. Dalam Naskah Belanda sebagaimana dimaksud di atas sebagai naskah kedua tentang sejarah Lingga Riau yang jelas menuliskan silsilah (stamboom) yang ditulis pada bulan januari 1955 oleh T.J. Willer, Residen Belanda yang dimuat dalam buku Bleeker et.al (1855) dalam Tidschrift voor Indische Tall Land en Volkenkunde pada halaman 411 dengansub-judul “Stamboom der onderkoningen van Riouw”. Susunan silsilah dimulai dari yang paling atas adalah Raja Bone (Koning van Boni) lalu tingkatan berikutnya turun ke anak-anaknya yaitu Raja Bone (Koning van Bone) dan Upu Prinsvan Bone (Pangeran Bone) yang kemudian turun ke level berikutnya adalah Daeng Marewa sebagai Yang DipertuanMuda Riau I (paling kiri), lalu Daeng Parani (di tengah) dan Daeng Pali sebagai Yang Dipertuan Muda II (paling kanan).Generasi berikutnya adalah anak daeri Daeng Parani yaitu Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III, kemudian anak dari Daeng Pali yaitu Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV lalu kembali ke anak Daeng Kamboja yakni Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda Riau V. Setelah ini, keturunan Daeng Pali yang lanjut meneruskan trah Bugis Bone di Kerajaan Lingga Riau. Dalam buku Belanda lainnya tahun 1870 disebut nama Daeng Cella’ (Chelak) sebagai nama lain dari Daeng Pali. Susunan yang sama tentang silsilah ini dapat ditemukan sekarang.

Dalam Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu (2019) dalam tulisan Syahrul Rahmat dengan judul Bugis di Kerajaan Melayu dan Sejarah Kabupaten Lingga yang ditulis oleh Bupati Lingga 2016-2021, Ilyas Wello dalam buku Tamadun Melayu Lingga yang merupakan kumpulan makalah “Seminar Memuliakan Tamadun Melayu” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga (2018). Susunannya adalah sebagai berikut: 1) Daeng Marewah / YangDipertuan Muda Riau I (1722-1728); 2) Daeng Chelak / Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745); 3) Daeng Kamboja /Yang DipertuanMuda Riau III (1748-1777); 4) Raja Haji / Yang Dipertuan Muda Riau IV (1777-1784); 5) Raja Ali / YangDipertuan Muda Riau V (1784-1806); 6) Raja Jaafar / Yang Dipertuan Muda Riau VI (1806-1831); 7) Raja AbdulRahman / Yang dipertuan Raja Muda Riau VII (1833-1843); 8) Raja Ali/ Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1845-1857); 9)Raja Abdullah/ Yang Dipertuan Muda Riau IX (1857-1858) dan 10) Raja M. Yusuf/ Yang Dipertuan Muda Riau X (1858-1899) – Merupakan anak Raja Ali dan cucu dari Raja Jaafar. Raja M Yusuf kemudian menikahi Tengku Embung Fatimah. Dari pernikahan tersebut lahir Raja Abdurrahaman yang kemudian menjabat sebagai sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar sultan Abdurrahman Muazamsyah II dan merupakan sultan terakhir tersebut sebelum dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913. Meski jejak Raja Bone tampak jelas dalam berbagai data di atas, namun tetap ada misteri berikutnya yaitu siapakah Raja Bone, dan anak-anaknya yang dicatat tanpa nama dalam stambuk Belanda tersebut? Jika mengikuti petunjuk waktu Prof. Zainal Abidin Farid, maka kemungkinan Raja Bone yang dimaksud ada di pusaran periode dari zaman Raja Bone ke-10 We Tenri Tuppu, (1602-1611) sampai Raja Bone ke-16 La Patau Matanna Tikka (1696-1714) dengan melihat masa wafat dari ketiga raja pertama dari Yang Dipertuan Muda yang wafat pada tahun 1722, 1723 dan 1743. Nama-nama yang pasti dan tokoh-tokoh bugis lainnya kemungkinan akan terungkap dalam buku yang dalam proses penerbitan oleh Ambo Upe, dkk.Posted21 hours ago by Sapri Pamulu

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *